Minimnya formulir surat suara yang dibagikan kepada saksi di tempat pemungutan suara (TPS) mengakibatkan jual-beli dan penggelembungan suara antarcalon anggota legislatif (caleg).
Hal itu disampaikan caleg DPRD Lampung dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) I Nyoman Darmandi dalam diskusi rutin mingguan yang digelar Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Lampung di Pondok Kelapa Unila, Jumat (30-1). Selain Nyoman, diskusi bertema Menggagas pemilu bersih dan profesional, juga menghadirkan pembicara Yandri Nazir dari Partai Demokrat dan Ari Darmastuti selaku pengamat politik Lampung.
Menurut Nyoman, jual-beli dan penggelembungan suara disebabkan minimnya jumlah formulir rekapitulasi hasil penghitungan suara yang seharusnya diterima para saksi peserta pemilu. “Formulir rekepitulasi hasil penghitungan suara yang wajib didapatkan saksi-saksi cuma tersedia sedikit. Tidak semua saksi 38 parpol dan seluruh caleg mendapatkannya,” terang dia.
Nyoman mengatakan jual beli dan penggelembungan suara dapat terjadi dengan perantara penyelenggara di tingkat panitia pemungutan suara (PPS) dan/atau kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS).
“Misalnya, ada seorang caleg di satu partai yang dapat suara cukup banyak, sedangkan caleg lain yang notabene di partai itu kedudukannya lebih tinggi dapat suara lebih rendah dari caleg tadi. Di sinilah pergeseran suara dari caleg yang suaranya lebih banyak ke caleg yang suaranya lebih rendah bisa terjadi melalui jual-beli dan penggelembungan suara dengan penyelenggara. Selain itu, saksi caleg yang suaranya lebih banyak tadi tidak mendapat formulir rekapitulasi hasil penghitungan suara,” jelas Nyoman.
Sementara itu, Ari Darmastuti menilai terwujudnya pemilu yang bersih dan profesional masih jauh dari harapan. Pasalnya, berbagai masalah, mulai dari jual beli aturan, keterbatasan penyelenggara, sampai partisipasi masyarakat, hingga kini belum selesai.
“MK menetapkan sistem distrik berwakil banyak, bukan perwakilan terbuka. Padahal, syaratnya adalah pemilih harus sudah benar-benar mengerti politik. Akhirnya, yang terjadi adalah pragmatisme pemilih. Ini awalnya karena jual beli aturan di Senayan. Selama jual beli aturan itu masih ada, bagaimana pemilu mau bersih dan profesional,”
tapi yang saya tau rata rata para caleg dibandar lampung melakukan money politik. itu setau saya lho…..